Selasa, 16 Desember 2014

emansipasi wanita dan nasionalisme



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Emansipasi pada wanita dapat mengarahkan wanita ke arah yang lebih baik dari jaman-jaman belanda dulu. Dimana wanita tidak dapat bekerja dan tidak bisa mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya. Namun pada era kini, emansipasi sering disalahgunakan. Wanita yang menganggap mereka terlindungi oleh emansipasi dan UU untuk wanita. Sehingga mereka dengan mudahnya pergi kesana kemari dengan alassan telah dilindungi oleh emansipasi dan UU.
Nasionalisme dapat didefinisikan rasa kebermilikan terhadap suatu bangsa.. Nasionalisme sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Ketidaksukaan bangsa yang terjajah terhadap pihak yang menjajah terakumulasi yang menimbulkan adanya rasa ingin bebas dan menjadi negara yang merdeka. Hal tersebut teraplikasikan dengan munculnya berbagai pergerakan.
Nasionalisme pertama kalinya di perkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa saat mereka sedang menikmati euphoria revolusi industri. Fenomena tersebut secara otomatis merubah strata sosial dalam masyarakat. Proses peralihan terjadi pada abad ke XVII yang didahului oleh kapitalisme awal dan liberalisme. Kekuasaan feodal dengan raja, bangsawan, dan gereja lambat laun tidak mampu menghadapi desakan dari golongan di kota-kota yang menguasai perdagangan. Karena semangat mereka yang didasarkan pada factor ekonomi semata, menjadikan mereka mencari daerah pemasaran baru atau daerah bahan baku. Hal ini dilandasi semata-meta untuk mengabdi tetrhadap bangsanya. Makanya terjadilah penjajahan atas bangsa Eropa terhadap bangsa lain, terutama Asia dan Afrika.
Sedangkan nasionalisme bangsa Asia sendiri didasarkan pada keinginan lepas dari penjajahan dan berrdaulat menjadi negara merdeka. Oleh karena itu, pasca PD II banyak lahir gerakan-gerakan pembebasan. Hampir di seluruh Asia merasakan euphoria tersebut, tak terkecuali Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian emansipasi wanita dan nasionalisme ?
2.      Bagaimana kondisi perempuan pada saat belum adanya emansipasi wanita ?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh penggerak Emansipasi wanita ?
4.      Bagaimana latar belakang lahirnya nasionalisme di Indonesia ?
5.      Apa saja faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi melemahnya nasionalisme di Indonesia ?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari emansipasi wanita dan nasionalisme
2.      Untuk mengetahui kondisi perempuan pada saat belum adanya emansipasi wanita
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh penggerak emansipasi wanita
4.      Untuk mengetahui latar belakang lahirnya nasionalisme di Indonesia
5.      Untuk mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi melemahnya nasionalisme di Indonesia





BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Emansipasi Wanita dan Nasionalisme
2.1.1 Pengertian Emansipasi Wanita
Emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipatio", artinya adalah pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu, istilah ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum dewasa agar lepas dari kekuasaan orang tua mereka dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.
Istilah itu secara luas digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan derajat atau hak-hak politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dibahas dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan derajat.
Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian lebih sering dikaitkan dengan emansipasi wanita dalam rangka memperoleh persamaan hak, derajat, dan kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuangkan persamaan bagi wanita yang sekarang orang lebih mengenalnya sebagai emansipasi wanita.
Definisi emansipasi wanita secara harfiah adalah kesetaraan hak dan gender. Emansipasi wanita juga bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Dari semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa emansipasi wanita adalah suatu persamaan hak yang diberikan kepada kaum wanita tanpa diskriminasi gender. Hak ini harus diberikan secara adil dan proposional. Seorang wanita harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dan kaum laki-laki menghormati serta memperlakukan wanita sebagaimana mestinya, tidak meremehkan, tidak mengeksploitasi, apalagi menyiksa. Wanita merupakan makhluk yang sangat penting bagi laki-laki, pelengkap bagi kaum laki-laki.
2.1.2 Pengertian Nasionalisme
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin yakni natio. Kata nation sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padangan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata nation dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.
Kemudian pengertian nasionalisme di atas mengalami perubahan ke arah positif. Nasionalisme di artikan sebagai semangat kebangsaan dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari negara. Ada dua macam teori pembentuk Negara, yakni teori kebudayaan dan teori Negara. Teori kebudayan mengatakan bahwa Negara terbentuk atas dasar kesamaan kebudayaan. Sedangkan teori negara mengatakan sekelompok orang yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk bergabung menjadi satu dalam suatu negara yang berdaulat dengan tidak menjadikan kebudayaan tertentu menjadi syaratnya.  
Dari kedua teori diatas, Indonesia masuk dalam teori Negara, karena terbentuk atas dasar kemauan dan keinginan untuk menjadi satu. Beragamnya kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang berbeda tidak dianggap sebagai penghalang tetapi sebagai anugerah. Penyatuan atas keinginan untuk bebas dari penjajahan sangat rawan terjadi disintegrasi. Oleh karena itu, nampaknya harus selalu ada upaya pemupukan semangat nasionalisme.

2.2 Kondisi Perempuan Pada Saat Belum Adanya Emansipasi Wanita
            Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi gender di era pra emansipasi. Perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk dalam sebuah budaya yang sangat patriark.

2.3 Tokoh-tokoh Penggerak Emansipasi Wanita

A.    R. A. Kartini
Kartini adalah salah satu putri Sosroningrat, yaitu seorang Bupati Jepara. Kartini lahir di desa Mayong tanggal 28 Robiul Akhir 1808. Saat itu Ayah Kartini masih menjabat sebagai wedana di desa Mayong. Kartini bukanlah anak dari seorang Raden Ayu, namun Kartini terlahir dari rahim seorang perempuan desa biasa. Karena Sosroningrat, Ayah Kartini mempunyai dua orang istri yaitu Ngasirah yang pertama kali dinikahinya saat ia masih menjadi wedana dan menjadi ibu dari Kartini dan yang kedua adalah R.A Moerjam. Ngasirah adalah anak dari Kyiai Haji Modirono seorang guru Agama terkenal dari Teluk Awur Jepara, dan Ibunya Hajah Siti Aminah  juga dari desa Teluk Awur. Ngasirah dinikahi Sosroningrat pada tahun 1872 yang berstatus menjadi garwo ampil. Dan pada tahun 1875 Sosroningrat menikahi anak dari seorang Bupati Jepara sebelumnya yaitu R.A.A Tjitrowikromo yang bernama R.A Moerjam sebagai garwa padmi yaitu status yang lebih tinggi dan terhormat dari status Ngasirah
Kartini adalah seorang wanita dari kelas bangsawan Jawa. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang bupati Jawa yang paling maju.Karena faktor ini, Kartini diperbolehkan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School), hingga umur 12 tahun. Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah, karena adat pada waktu itu melarang seorang wanita untuk “melihat” dunia luar kecuali ia telah memiliki suami
Kemampuannya berbahasa Belanda, membuat Kartini belajar secara otodidak di rumah, dan mulai menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Ia sangat tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, yang didapatnya dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini berkeinginan untuk memajukan perempuan Nusantara, yang saat itu masih berada mengalami diskriminasi.
Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang realita sosial saat itu, khususnnya tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang sedikit mengekang perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Dalam suratnya Kartini berharap agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan tujuan agar mereka (perempuan) menjadi seorang ibu yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat sebagai berikut:
“… menjadikan mereka sebagai perempuan yang cakap dan baik, yang
sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi ibu yang baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu pemegang uang dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”
Menurut Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap pembentukan budi pekerti anak-anak mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902 sebagai berikut:
“Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah
dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.
            Selain kewajibannya sebagai seorang ibu, perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha memajukan bangsa dan pendukung peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler pada tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut:
“Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang
amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban”
Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya tersebut mendapat tanggapan dari R.M. Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini. Abendanon menerbitkan surat-surat Karini pada tahun 1911 dengan judul
Door Duisternis tot Licht 
Gagasan dan pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya inilah yang kemudian banyak membuka mata hati dan perubahan tentang sejarah peran wanita di Indonesia. Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan nasib wanita di Indonesia hanya bisa sebatas wacana dalam suratnya, Pada umur 25 tahun-sebuah usia yang relatif masih muda-Kartini harus menjumpai ajalnya setelah ia melahirkan anak pertama. Meskipun begitu, upayanya memperjuangkan nasib wanita di Indonesia tetap abadi hingga saat ini. Pemerintah pun telah mengabadikannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964.
B.     Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika merupakan keturunan menak atau priyayi. Dari garis keturunan ibunya, ia adalah cucu dari Dalem Bintang, yakni Bupati Bandung pada tahun 1846-1874. Namun ayahnya, Raden Somaganara, yang sempat menjabat menjadi Patih Bandung bersama dengan kakek Dewi Sartika, R.Demang Soeriadiprdja menyusun sebuah penentangan terhadap terpilihnya RA Martanegara sebagai Bupati Bandung menggantikan Raden Adipati Kusumadilaga. Kejadian ini dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung. Peristiwa ini terjadi pada 17 dan 20 Juli 1893. Akhirnya karena hal ini, Somanagara diasingkan ke Ternate dan kakek Dewi Sartika diasingkan ke Pontianak.
Saat ayahnya diasingkan, ibu Dewi Sartika turut serta ke Ternate. Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan terpisah-pisah ke kerabat mereka. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat, kakak dari ibu Dewi Sartika. Pamannya adalah Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika tinggal disana sampai ia berusia 18 tahun.
Saat di Cicalengka, Dewi Sartika mendapati bahwa banyak perempuan bahkan dikalangan Menak yang tidak bisa baca tulis. Istri keempat pamannya yang bernama Nyi Raden Eni atau disapa Agan Eni menerima gadis-gadis yang ingin mondok dan belajar etika seorang perempuan Menak Sunda. Namun ternyata mereka tetap saja tidak diajari baca tulis karena dianggap tidak perlu memiliki skill  semacam itu, cukuplah mampu melayani dan mengurusi rumah dengan baik. Kondisi ini membuat Dewi Sartika mengembangkan pendidikan bagi perempuan.
Di Bandung inilah Dewi Sartika secara serius merintis sekolah untuk perempuan. Pada tahun 1902 tersebutlah, di halaman belakang rumah ibunya, Dewi Sartika membuka sebuah sekolah untuk perempuan. Dewi Sartika membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar dibawah pengajaran beliau tanpa peduli status sosial mereka. Dewi Sartika mengajar secara sukarela tanpa meminta upah. Sebagai gantinya banyak murid-muridnya yang datang dengan membawa makanan atau membawa keperluan dapur. (Bisa jadi ini pun menjadi sumber penghidupan Dewi Sartika sebab saat ayahnya diasingkan ke Ternate seluruh harta mereka pun disita oleh pemerintah).
Tekad Dewi Sartika untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan bisa jadi semakin bulat sebab melihat kondisi ibunya yang tidak bisa berusaha sendiri untuk menghidupi diri dan keluarganya. Sebab meskipun ibunya berasal dari golongan Menak namun beliau hanya mendapat pendidikan tata krama dan hal-hal terkait tentang pembawaan seorang Menak di lingkungan sosial, namun tidak diajari keterampilan yang memadai untuk bisa berusaha sendiri. Baca-tulispun tidak termasuk dalam pendidikan kaum Menak untuk perempuan. Bisa jadi hal ini yang membuat Dewi Sartika segera merealisasikan rencananya membuat sekolah tersebut meskipun dengan sarana yang seadanya.
Akhirnya pada 16 Januari 1904 secara resmi didirikanlah Sakola Istri yang tempat belajarnya dipindahkan dari rumah Dewi Sartika ke halaman depan rumah Bupati Bandung, tepatnya dalam ruangan di Paseban Barat. (Kini tempat tersebut sudah hancur dan menjadi bagian dari taman di Pendopo Alun-Alun Bandung). Saat awal berdirinya, Sakola Istri memiliki 3 orang pengajar yakni Dewi Sartika, Nyi Poerwa, & Nyi Oewit. Dengan jumlah murid pertama kali sekitar 60 orang.
Karena jumlah murid yang terus bertambah, tahun 1905 dipindahkanlah Sakola Istri ke jalan Ciguriang-Kebon Cau. Lahan ini dijadikan lahan sekolah baru dan dibeli sendiri oleh Dewi Sartika dengan uang tabungannya. Pada 1910 tepatnya pada 5 November 1910 pukul 19.00 didirikanlah Perkumpulan Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Residen Priangan W.F.L Boissevain dikediamannya yang dikenal sebagai Gedung Pakuan. Pada 1911 tepat pada nama Sakola Istri diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri karena banyaknya sumbangsih yang diberikan oleh perkumpulan tersebut. Berkat dana yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Kautamaan Istri ini, dibangunlah cabang-cabang Sakola Keutamaan Istri di Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta. Pada peringatan 7 tahun pendirian sekolah ini, Dewi Sartika berpidato yang kemudian dibukukan dan diterbitkan di Bandung oleh A.C Nix & Co pada tahun 1912 dengan judul Buku Kautamaan Istri.
Di masa hidupnya, Dewi Sartika dua kali mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda yakni pada tahun 1922 dan 1939. Pada tahun 1922 beliau dianugerahi Bintang Perak oleh pemerintah Hindia Belanda, dan tahun 1939 diberi penghargaan yang lebih tinggi lagi yakni Bintang Emas. Hal ini berarti membantah penyataan yang mengatakan bahwa Raden Dewi Sartika dilingkungan orang-orang Belanda tidak begitu dikenal. Fakta ini juga terbantahkan dengan data bahwa perhatian publik atas keberadaan Sekola Kautamaan Istri cukup bagus karena di tahun 1913 Sakola Kautamaan Istri sempat dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Kemudian pada tahun 1916 Sakola Kautamaan Istri dikunjungi oleh Nyonya Limburg van Stirum (istri dari Gubernur Jenderal yang baru).
C.    Siti Roehana Kudus
Siti Roehana lahir pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatra Barat. Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, bekerja sebagai seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda. Darah keluarga Rasjad memang tergaris profesi jaksa. Datoek Dinagari, kakek buyut Roehana, adalah jaksa pertama di Bukitinggi sekurun 1833-1836. Paman Roehana, adik Rasjad, juga seorang jaksa, begitu pula saudara-saudara lelakinya yang lain. Roehana adalah anak pertama Rasjad dari Kiam, istri pertama Rasjad. Dari Kiam, Rasjad memperoleh enam anak. Setelah Kiam wafat, Rasjad menikah lagi hingga lima kali. Salah satu anak lelaki Rasjad adalah Soetan Sjahrir. Dengan demikian, Sjahrir dan Roehana adalah saudara tiri lain ibu. Adik Rasjad, paman Roehana dan Sjahrir, adalah kakek dari Agus Salim, yang pada akhirnya nanti menjadi bapak bangsa Indonesia. Keluarga Roehana memang seolah-olah ditakdirkan sebagai agen untuk perubahan.
Jika di Jawa tersebutlah nama Kartini sebagai pendekar wanita yang paling kondang, kaum perempuan di Sumatra juga punya idola yang tidak kalah harum namanya: Siti Roehana Koedoes. Dari ranah Melayu, Roehana engiringi perjuangan yang dirintis Kartini. Sejarah telah menggurat riwayat, Kartini melegenda berkat jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan, demikian pula Roehana. Kedua srikandi Indonesia itu menempuh jalan pendidikan demi mengentaskan perempuan dari pembodohan dan penindasan.
Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana menemui jalan terjal karena desakan adat yang tak jarang menganggap rendah dalam memposisikan perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana, baik kecaman yang datang dari kalangan agamawan maupun pemuka masyarakat, terutama mereka yang berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana meneguhkan hati.
Upaya Roehana demi mencerdaskan bangsa telah dirintis sejak belia. Pada usia yang masih sangat muda, Roehana sudah menjadi guru dengan menyediakan rumahnya sebagai sekolah dadakan bagi anak-anak perempuan. Pelajaran yang diberikan meliputi membaca, menulis, bahasa, budi-pekerti, agama, dan keterampilan menganyam. Roehana memacu semangat murid-muridnya untuk maju dengan meyakinkan bahwa perempuan bisa juga menjadi dokter atau guru. Roehana menganjurkan, dalam upaya mencari ilmu, perempuan lebih baik merantau seperti yang lazim dilakukan kaum lelaki Minang. Bagi kaum adat, gagasan ini jelas menyimpang. Tetapi nyali Roehana tak ciut. Baginya, emansipasi harus terus diperjuangkan demi kemajuan kaum perempuan, khususnya dalam pendidikan.
Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota kelahirannya, Kotogadang, Sumatra Barat. KAS berkembang pesat dan menghasilkan barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS adalah sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas langsung oleh perempuan. Roehana menjadi wanita Sumatra pertama yang dengan sadar memulai usaha memajukan kaum perempuan.
Selain sebagai pendidik, Roehana juga disebut sebagai Ibu Pers Indonesia berkat perannya sebagai pelopor penerbitan koran perempuan pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil peranan langsung dalam teknis penerbitannya. Rohana merupakan cikal bakal lahirnya wartawan-wartawan profesional di Sumatra Barat. Roehana tak hanya sekadar berperan sebagai “pemanis” dalam koran-koran yang dikelolanya. Lebih dari itu, dia memainkan lakon sentral sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran perempuan yang terbit di Padang sejak 10 Juli 1912, juga koran-koran bergenre emanisipasi wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin redaksi, Roehana tak segan turun langsung ke bawah untuk meliput berita.
Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan perhimpunan perempuan di Sumatra. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi perempuan di tanah Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya dan menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi dibentuk di Padang pada 1911. Roehana mendirikan persatuan organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia digagas, yang kelak baru terlaksana pada 22-25 Desember 1928.
D.    Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah lahir di Padang Panjang, 29 Desember 1900, ia merupakan bungsu dari lima bersaudara.Rahmah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kuat adat dan agama.
Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-Yunusiyah, mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikanjalurkehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bldang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan.
Terlebih, saat itu masih banyak perempuan di daerahnya yang belum mendapatkan pendidikan seperti yang ia rasakan. Atas dasar inilah, ia mendirikan sekolah khusus perempuan dengan model pesantren, Diniyah Putri. Tidak lupa, ia memasukkan pendidikan keperempuanan dalam kurikulum sekolahnya agar perempuan tidak melupakan hak dan kewajibannya.
Dengan berdirinya Diniyah Putri pada 1923, sang pendiri, Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau, dan meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di Indonesia.Murid-murid pertamanya saat itu berjumlah 71 orang yang mayoritas terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda, dengan pelajaran diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah Masjid Pasar Usang, Padang Panjang, dengan sistem halaqah.Dalam perkembangannya, sekolah ini menjadi pesantren dan hanya menerima murid perempuan yang belum menikah.
Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri." Melalui lembaga seperti itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju.
Cita-cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman dan capaian pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap pendidikan dasardi Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa ulama modemis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedla bagi segelintir orang
Untuk menarik minat masyarakat, baik kaum intelektual maupun kaum adat (golongan yang sangat kuat memegang faham kuno: bahwa perempuan tidak perlu bersekolah), dan khususnya kaum ibu, maka sekolah inl menggunakan tiga macam perkataan yang menjadi satu yaitu: Dinijah School Poeteri, dengan nama yang spesiflk tersebut masyarakat menjadi tertarik dan pada masa penjajahan jepang dipopulerkan dengan nama "Sekolah Diniyah Puteri", sedang pada masa sekarang dikenal dengan "Perguruan Diniyah Putri " Padang Panjang.
Tidak hanya Diniyyah Puteri, Rahmah juga mendirikan lembaga pendidikan Menyesal School untuk kaum Ibu yang belum bisa baca-tulis, kemudian
Freubel School  (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS), Diniyah School Puteri 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun), dan Tsanawiyah (3 tahun).
Rahmah ingin perempuan bisa menjadi sosok intelektual yang tetap pada fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, karenanya ia tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya. Karena menurut Rahmah, masyarakat bisa baik bila rumah tangga dari masyarakat tersebut juga baik, karena rumah tangga adalah tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara, sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam. Ia menginginkan setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangganya, masyarakat dan sekolah. Menurut Rahmah hal ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan.

            2.4 Latar Belakang Lahirnya Nasionalisme di Indonesia
Membicarakan mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keadaan rakyat sendiri yang sangat memprihatinkan pada masa tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat terbelakang waktu itu, mereka hanya dipekerjakan untuk kepentingan kolonial. Pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan tidak menjadi perhatian utama pemerintah kolonial Belanda. Situasi tersebut tetap berlangsung sampai Van Deventer dalam majalah De Gids menulis keprihatinanya terhadap rakyat Indonesia karena loyalitas mereka terhadap pemerintaha kolonial tidak mendapatkan balasan yang semestinya.
Sesungguhnya semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan telah ada dalam jiwa-jiwa rakyat Indonesia. Sayangnya pada masa itu belum ada wadah dan penggeraknya yang terorganisir. Baru setelah memasuki abad ke 20, politik etis berimplikasi positif bagi bangsa Indonesia. out put dari pendidikan yang menjadi salah satu program dari politik etis sendiri menghasilkan para cendekiawan yang peduli akan nasib bangsanya. Mereka mendirikan berbagai organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan gerakan emansipasi wanita.
Ada tiga pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme dan nasionalisme Indonsia. Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam memegang peranan penting dalam pembentukan nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut seorang pengamat nasionalisme George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja merupakan matarantai yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan simbol persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal dari agama lain. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah menjadi organisasi politik pemula yang menjalankan program politik nasional dengan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.

2.5 Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme di Indonesia
            2.5.1 Faktor Internal
1.      Provinsialisme, Kedaerahan, Primodialisme
Ketiga kata tersebut sebenarnya mempunyai arti atau definisi yang kurang lebih sama. Ketiganya sama-sama mempunyai arti paham yang menjunjung tinggi daerahnyaatau bersifat kedaerahan, provinsialisme paham yang menjunjung tinggi provinsisendiri, primodialisme paham yang menjujung tinggi daerah asalnya atau daerahkelahirannya.
Sebenarnya menjujunjung tinggi daerahnya bukanlah hal yang salah, karena setiaporang tidak akan mungkin terlepas dari daerah asalnya, orang jawa bangga dengankejawaannya, batak bangga dengan kebatakannya.Tapi yang mejadi masalah adalah primodialisme fanatic atau berlebihan. Terlalu mengagung-agungkan daerahnya hingga merendahkan daerah atau suku lain.Primodialisme yang seperti inilah yang bisa memecahkan persatuan nasionalisme bangsa kita. Apabila setiap suku atau daerah di Indonesia menganut paham primodialisme yang berlebihan bisa dibayangkan nasionalisme Indonesia akan kacau.
2.      Separatisme
Separatisme secara umum adalah suatu gerakan untuk memisahkan suatu wilayah ataukelompok manusia dari satu sama lain. Di Indonesia sendiri kita ketahui cukup banyak gerakan separatisme yang bermunculan dari jaman dahulu atau masa pascakemerdekaan sampai saat ini ada GAM, RMS, dll yang mecoba untuk memisahkandiri dari Negara kesatuan republik Indonesia . Darai beberapa gerakan separatism yang ada ada yang sudah bisa diselesaikan dan ada juga yang belum.
Dari pengalaman yang sudah ada ini bisa dilihat bahwa gerakan separatisme sudah ada sebelumnya menyebabkan nasionalisme kita menjadi rusak, karena gerakan tersebut mencoba untuk memisahkan diri dari RI.
2.5.2        Faktor Eksternal
·         Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat trans kulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat diterapkandalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Memahami globalisasi adalah suatu kebutuhan,mengingat majemuknya fenomena tersebut.Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi,ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.
Ø  Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme:
1.      Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis.Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat.Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2.      Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatankerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkankehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3.      Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerjayang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkankemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasanasionalisme kita terhadap bangsa.
Ø  Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme:
1.      Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalism dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadiakibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2.      Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalamnegeri karena banyaknya produk luar negeri yang membawa brand bergaya barat yang membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalamnegeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.      Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas dirisebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yangoleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.      Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya danmiskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapatmenimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggukehidupan nasional bangsa.
5.      Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulianantarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan pedulidengan kehidupan bangsa.
Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
















BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Emansipasi wanita adalah suatu persamaan hak yang diberikan kepada kaum wanita tanpa diskriminasi gender. Hak ini harus diberikan secara adil dan proposional. Seorang wanita harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dan kaum laki-laki menghormati serta memperlakukan wanita sebagaimana mestinya, tidak meremehkan, tidak mengeksploitasi, apalagi menyiksa. Wanita merupakan makhluk yang sangat penting bagi laki-laki, pelengkap bagi kaum laki-laki.
Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi gender di era pra emansipasi. Perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk dalam sebuah budaya yang sangat patriark
Tokoh-tokoh Pengerak Emansipasi Wanita antara lain : R. A. Kartini, Raden Dewi Sartika,  Siti Roehana Kudus, Rahmah El-Yunusiyah .
Membicarakan mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keadaan rakyat sendiri yang sangat memprihatinkan pada masa tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat terbelakang waktu itu, mereka hanya dipekerjakan untuk kepentingan kolonial. Pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan tidak menjadi perhatian utama pemerintah kolonial Belanda.
Sesungguhnya semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan telah ada dalam jiwa-jiwa rakyat Indonesia. Sayangnya pada masa itu belum ada wadah dan penggeraknya yang terorganisir. Baru setelah memasuki abad ke 20, politik etis berimplikasi positif bagi bangsa Indonesia. out put dari pendidikan yang menjadi salah satu program dari politik etis sendiri menghasilkan para cendekiawan yang peduli akan nasib bangsanya. Mereka mendirikan berbagai organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan gerakan emansipasi wanita.
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme di Indonesia, meliputi Faktor Internal (1. Provinsialisme, Kedaerahan, Primodialisme, 2.Separatisme). factor ekternal meliputi adanya globalisasi.
























DAFTAR PUSTAKA
























TAMBAHAN

1.      Chafi Insanuar (130210302024)
·         Peranan perempuan dalam pergerakan nasional ialah mereka tidak hanya menginginkan kemajuan dan menghilangkan segala diskriminasi akan tetapi mereka ikut serta bertanggung jawab terhadap nasib bangsa.
·         Adapun dana beberapa kongres yang kaum perempuan bentuk dan ikuti ialah:
1)      Kongres perempuan Indonesia 22-25 Desember
2)      Kongres perserikatan perkumpulan perempuan indonesia, Jakarta 28-31 Desember 1929
3)      Kongres perikatan perkumpulan istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930
4)      Kongres perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935
5)      Kongres perempuan Indonesia, Bandung Juli 1938
6)      Kongres perempuan Indonesia, Semarang Juli 1941.

2.      Lintang Adelia F (130210302061)
·         Buah pikiran Kartini yang tertulis pada bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi penggerak munculnya sekolah-sekolah putri yang didirikan oleh emansipasi wanita terus dibicarakan pada tahun  1912 didirikan sekolah Kartini di Semarang atas dorongan Van Deventer dengan adanya pendidikan untuk wanita maka pemikiran wanita menjadi lebih luas dan emansipasi wanita berperan dengan membentuk organisasi untuk ikut berjuang melawan penjajah.




3.      Siti Jumratul Aini (130210302080)
·         Dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia tidak terlepas dari gerakan nasional setiap partai atau organisasi nasional berusaha membangun sayap perempuan sendiri sesuai dengan emansipasi wanita adalah memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Yang dinilai lebih rendah dari pada laki-laki. Sayap perempuan sendiri baik organisasi yang berhaluan nasionalis. Sepanjang yang kita ketahui tanda-tanda pertama adanya perhatian sistematis kaum perempuan yang kebanyakan kelas menengah pada kesulitan yang dihadapi oleh kaum perempuan terdapat dalam kalangan perempuan yang aktif dalam sarekat rakyat.

4.      Novita Ayu Karisma (130210302035)
·         Nyai Ahmad Dahlan memilih untuk mengajak masyarakat dengan karya yang nyata. Beliau mendirikan sekolah-sekolah putri, kursus ilmu agama, serta terus menjalankan program pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selama itu didirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah untuk kaum wanita.

5.      Aydha Vadillah Kurniawati (130210302085)
·         Peranan perempuan untuk memajukan bangsa harus ditingkatkan yang dinyatakan dalam kongres perempuan tahun 1935, bahwa pergerakan perempuan tidak hanya menginginkan kemajuan perempuan dan menghilangkan segala diskriminasi, akan tetapi harus ikut serta bertanggung jawab terhadap nasib bangsa. Ini merupakan suatu konsep yang menunjukkan kepada cita-cita yang sangat tinggi yang telah dicetuskan oleh pemimpin perempuan masa itu. Dengan adanya sifat kebangsaan yang dimiliki oleh himpunan perempuan, maka hubungan antara pergerakan perempuan indonesia dengan pergerakan nasional menjadi semakin erat.


6.      Agi Rosmaeni (130210302084)
·         Pada tahun 1938 kongres perempuan Indonesia menyerukan semboyan baru yaitu “Pergerakan perempuan indonesia sebagian dari pergerakan kebangsaan indonesia”. Gerakan yang dilakukan masa itu tidak hanya menghubungkan hak perempuan dengan nasionalisme, tetapi juga menggunakan pendapat nasionalisme untuk menuntut hak perempuan dan kesetaraan. Timbulnya pergerakan perempuan indonesia dilihat dari perkembangan sejarahnya, gerakan yang menjadi bermotifkan semangat untuk memajukan bangsa, dan ini menentukan arah bagi perkembangan selanjutnya. Bahkan dalam pengertian gerakan perempuan indonesia di dalamnya terdapat organisasi perempuan yang berhaluan nasional.

7.      Sulaihah (130210302015)
·         Cita-cita emansipasi perempuan dan kedudukan perempuan di anggap sebagai unsur penting dalam pembangunan nasional. Cara yang mereka lakukan selain melalui perjuangan dalam segala bidang untuk mendapatkan kesetaraan hak, juga melalui penerbitan buku-buku yang mendorong lahirnya rasa nasionalisme, selain itu juga melalui penerbitan majalah, surat kabar dan brosur-brosur misalnya: Putri Hindia (Bandung), Sunting Melayu (Bukit Tinggi), Putri Mahardika (Jakarta) dan lain-lain. Dari usaha-usaha para tokoh tersebut nantinya akan mempengaruhi atau memunculkan rasa nasionalisme terhadap rakyat indonesia.


8.      Putri Ulfa P (130210302046)
·         Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita indonesia mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda. Kesimpulan ini dapat ditarik dari korespondensi kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan nasional. Ditengarai juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai budaya untuk menjamah struktur nilai dan budaya indonesia agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar