BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Emansipasi
pada wanita dapat mengarahkan wanita ke arah yang lebih baik dari jaman-jaman
belanda dulu. Dimana wanita tidak dapat bekerja dan tidak bisa mendapatkan
pendidikan sebagaimana mestinya. Namun pada era kini, emansipasi sering
disalahgunakan. Wanita yang menganggap mereka terlindungi oleh emansipasi dan
UU untuk wanita. Sehingga mereka dengan mudahnya pergi kesana kemari dengan
alassan telah dilindungi oleh emansipasi dan UU.
Nasionalisme
dapat didefinisikan rasa kebermilikan terhadap suatu bangsa.. Nasionalisme
sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi
politik, ekonomi, dan sosial khususya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Ketidaksukaan
bangsa yang terjajah terhadap pihak yang menjajah terakumulasi yang menimbulkan
adanya rasa ingin bebas dan menjadi negara yang merdeka. Hal tersebut
teraplikasikan dengan munculnya berbagai pergerakan.
Nasionalisme
pertama kalinya di perkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa saat mereka sedang
menikmati euphoria revolusi industri. Fenomena tersebut secara otomatis merubah
strata sosial dalam masyarakat. Proses peralihan terjadi pada abad ke XVII yang
didahului oleh kapitalisme awal dan liberalisme. Kekuasaan feodal dengan raja,
bangsawan, dan gereja lambat laun tidak mampu menghadapi desakan dari golongan
di kota-kota yang menguasai perdagangan. Karena semangat mereka yang didasarkan
pada factor ekonomi semata, menjadikan mereka mencari daerah pemasaran baru
atau daerah bahan baku. Hal ini dilandasi semata-meta untuk mengabdi tetrhadap
bangsanya. Makanya terjadilah penjajahan atas bangsa Eropa terhadap bangsa
lain, terutama Asia dan Afrika.
Sedangkan
nasionalisme bangsa Asia sendiri didasarkan pada keinginan lepas dari
penjajahan dan berrdaulat menjadi negara merdeka. Oleh karena itu, pasca PD II
banyak lahir gerakan-gerakan pembebasan. Hampir di seluruh Asia merasakan
euphoria tersebut, tak terkecuali Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian emansipasi wanita dan
nasionalisme ?
2. Bagaimana kondisi perempuan pada saat belum
adanya emansipasi wanita ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh penggerak Emansipasi
wanita ?
4. Bagaimana latar belakang lahirnya nasionalisme
di Indonesia ?
5. Apa saja faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi melemahnya nasionalisme di Indonesia ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari emansipasi
wanita dan nasionalisme
2. Untuk mengetahui kondisi perempuan pada saat
belum adanya emansipasi wanita
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh penggerak
emansipasi wanita
4. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya
nasionalisme di Indonesia
5. Untuk mengetahui faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi melemahnya nasionalisme di Indonesia
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Emansipasi Wanita dan Nasionalisme
2.1.1 Pengertian Emansipasi Wanita
Emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipatio",
artinya adalah pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu,
istilah ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum dewasa agar lepas
dari kekuasaan orang tua mereka dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.
Istilah itu secara luas digunakan untuk menggambarkan
berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan derajat atau hak-hak
politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik,
atau secara lebih umum dibahas dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan
derajat.
Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian lebih
sering dikaitkan dengan emansipasi wanita dalam rangka memperoleh persamaan
hak, derajat, dan kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad ke-14 M
sudah ada gerakan untuk memperjuangkan persamaan bagi wanita yang sekarang
orang lebih mengenalnya sebagai emansipasi wanita.
Definisi emansipasi wanita secara harfiah
adalah kesetaraan hak dan gender. Emansipasi wanita juga bisa diartikan sebagai
suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum
pria di segala bidang kehidupan. Dari semua uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa emansipasi wanita adalah suatu persamaan hak yang diberikan kepada kaum
wanita tanpa diskriminasi gender. Hak ini harus diberikan secara adil dan
proposional. Seorang wanita harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mengembangkan diri dan kaum laki-laki menghormati serta memperlakukan wanita
sebagaimana mestinya, tidak meremehkan, tidak mengeksploitasi, apalagi
menyiksa. Wanita merupakan makhluk yang sangat penting bagi laki-laki,
pelengkap bagi kaum laki-laki.
2.1.2 Pengertian Nasionalisme
Secara
etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin yakni natio. Kata nation
sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung
memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat
Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap
kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi.
Padangan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak
beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata nation dari Bahasa Latin
ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang
menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga
Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa
Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang
dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa,
atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.
Kemudian
pengertian nasionalisme di atas mengalami perubahan ke arah positif.
Nasionalisme di artikan sebagai semangat kebangsaan dan loyalitas yang tinggi
terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari negara.
Ada dua macam teori pembentuk Negara, yakni teori kebudayaan dan teori Negara.
Teori kebudayan mengatakan bahwa Negara terbentuk atas dasar kesamaan
kebudayaan. Sedangkan teori negara mengatakan sekelompok orang yang memiliki
kesadaran dan kemauan untuk bergabung menjadi satu dalam suatu negara yang
berdaulat dengan tidak menjadikan kebudayaan tertentu menjadi syaratnya.
Dari
kedua teori diatas, Indonesia masuk dalam teori Negara, karena terbentuk atas
dasar kemauan dan keinginan untuk menjadi satu. Beragamnya kebudayaan dari
berbagai suku bangsa yang berbeda tidak dianggap sebagai penghalang tetapi
sebagai anugerah. Penyatuan atas keinginan untuk bebas dari penjajahan sangat
rawan terjadi disintegrasi. Oleh karena itu, nampaknya harus selalu ada upaya
pemupukan semangat nasionalisme.
2.2 Kondisi Perempuan Pada Saat Belum Adanya
Emansipasi Wanita
Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita,
perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah
meraih pendidikan tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan ada
stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestik.
Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan ada di 3 R
(kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi gender di era pra emansipasi.
Perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh pendidikan. Pada masa itu,
perempuan harus tunduk dalam sebuah budaya yang sangat patriark.
2.3 Tokoh-tokoh Penggerak Emansipasi Wanita
A. R. A. Kartini
Kartini adalah
salah satu putri Sosroningrat, yaitu seorang Bupati Jepara. Kartini lahir di
desa Mayong tanggal 28 Robiul Akhir 1808. Saat
itu Ayah Kartini masih menjabat sebagai wedana di desa Mayong. Kartini
bukanlah anak dari seorang Raden Ayu, namun Kartini terlahir dari rahim seorang
perempuan desa biasa. Karena Sosroningrat, Ayah Kartini mempunyai dua orang
istri yaitu Ngasirah yang pertama kali dinikahinya saat ia masih menjadi wedana
dan menjadi ibu dari Kartini dan yang kedua adalah R.A Moerjam. Ngasirah adalah
anak dari Kyiai Haji Modirono seorang guru Agama terkenal dari Teluk Awur
Jepara, dan Ibunya Hajah Siti Aminah juga dari desa Teluk Awur. Ngasirah
dinikahi Sosroningrat pada tahun 1872 yang berstatus menjadi garwo ampil. Dan pada
tahun 1875 Sosroningrat menikahi anak dari seorang Bupati Jepara sebelumnya
yaitu R.A.A Tjitrowikromo yang bernama R.A Moerjam sebagai garwa
padmi yaitu status yang lebih tinggi dan terhormat dari status Ngasirah
Kartini
adalah seorang wanita dari kelas bangsawan Jawa. Ayahnya dikenal sebagai salah
seorang bupati Jawa yang paling maju.Karena faktor ini, Kartini diperbolehkan
untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School), hingga umur 12 tahun. Di sini
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal
di rumah, karena adat pada waktu itu melarang seorang wanita untuk “melihat”
dunia luar kecuali ia telah memiliki suami
Kemampuannya
berbahasa Belanda, membuat Kartini belajar secara otodidak di rumah, dan mulai
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Ia
sangat tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, yang didapatnya dari
buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini berkeinginan untuk memajukan
perempuan Nusantara, yang saat itu masih berada mengalami diskriminasi.
Kartini
menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang realita sosial saat itu, khususnnya
tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang sedikit mengekang
perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Dalam
suratnya Kartini berharap agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan tujuan agar mereka
(perempuan) menjadi seorang ibu yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan
keluarga maupun masyarakat sebagai berikut:
“… menjadikan mereka sebagai perempuan yang cakap
dan baik, yang
sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan
kewajibannya yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi
ibu yang baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu
pemegang uang dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”
Menurut
Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap pembentukan budi pekerti
anak-anak mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton
dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902 sebagai berikut:
“Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan
kepada ibu itulah
dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan
anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya.
Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak
memikul kewajiban yang berat itu”.
Selain kewajibannya sebagai seorang
ibu, perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha memajukan bangsa
dan pendukung peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler pada
tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut:
“Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu
menjadi pasal yang
amat penting dalam usaha memajukan bangsa.
Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila
perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban”
Pemikiran-pemikiran
Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya tersebut mendapat tanggapan dari
R.M. Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini. Abendanon menerbitkan
surat-surat Karini pada tahun 1911 dengan judul
Door Duisternis
tot Licht
Gagasan
dan pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya inilah yang
kemudian banyak membuka mata hati dan perubahan tentang sejarah peran wanita di
Indonesia. Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan nasib wanita di Indonesia
hanya bisa sebatas wacana dalam suratnya, Pada umur 25 tahun-sebuah usia yang
relatif masih muda-Kartini harus menjumpai ajalnya setelah ia melahirkan anak
pertama. Meskipun begitu, upayanya memperjuangkan nasib wanita di Indonesia
tetap abadi hingga saat ini. Pemerintah pun telah mengabadikannya sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 1964.
B. Raden Dewi Sartika
Dewi
Sartika merupakan keturunan menak atau priyayi. Dari garis keturunan ibunya, ia
adalah cucu dari Dalem Bintang, yakni Bupati Bandung pada tahun 1846-1874.
Namun ayahnya, Raden Somaganara, yang sempat menjabat menjadi Patih Bandung bersama
dengan kakek Dewi Sartika, R.Demang Soeriadiprdja menyusun sebuah penentangan
terhadap terpilihnya RA Martanegara sebagai Bupati Bandung menggantikan Raden
Adipati Kusumadilaga. Kejadian ini dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung.
Peristiwa ini terjadi pada 17 dan 20 Juli 1893. Akhirnya karena hal ini,
Somanagara diasingkan ke Ternate dan kakek Dewi Sartika diasingkan ke
Pontianak.
Saat
ayahnya diasingkan, ibu Dewi Sartika turut serta ke Ternate. Dewi Sartika dan
saudara-saudaranya dititipkan terpisah-pisah ke kerabat mereka. Dewi Sartika
dititipkan pada pamannya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat, kakak dari ibu
Dewi Sartika. Pamannya adalah Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika tinggal
disana sampai ia berusia 18 tahun.
Saat
di Cicalengka, Dewi Sartika mendapati bahwa banyak perempuan bahkan dikalangan
Menak yang tidak bisa baca tulis. Istri keempat pamannya yang bernama Nyi Raden
Eni atau disapa Agan Eni menerima gadis-gadis yang ingin mondok dan belajar
etika seorang perempuan Menak Sunda. Namun ternyata mereka tetap saja tidak
diajari baca tulis karena dianggap tidak perlu memiliki
skill semacam itu, cukuplah mampu melayani dan mengurusi rumah
dengan baik. Kondisi ini membuat Dewi Sartika mengembangkan pendidikan bagi
perempuan.
Di
Bandung inilah Dewi Sartika secara serius merintis sekolah untuk perempuan.
Pada tahun 1902 tersebutlah, di halaman belakang rumah ibunya, Dewi Sartika
membuka sebuah sekolah untuk perempuan. Dewi Sartika membuka kesempatan bagi
siapapun yang ingin belajar dibawah pengajaran beliau tanpa peduli status
sosial mereka. Dewi Sartika mengajar secara sukarela tanpa meminta upah.
Sebagai gantinya banyak murid-muridnya yang datang dengan membawa makanan atau
membawa keperluan dapur. (Bisa jadi ini pun menjadi sumber penghidupan Dewi
Sartika sebab saat ayahnya diasingkan ke Ternate seluruh harta mereka pun
disita oleh pemerintah).
Tekad
Dewi Sartika untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan bisa jadi semakin
bulat sebab melihat kondisi ibunya yang tidak bisa berusaha sendiri untuk
menghidupi diri dan keluarganya. Sebab meskipun ibunya berasal dari golongan
Menak namun beliau hanya mendapat pendidikan tata krama dan hal-hal terkait
tentang pembawaan seorang Menak di lingkungan sosial, namun tidak diajari
keterampilan yang memadai untuk bisa berusaha sendiri. Baca-tulispun tidak
termasuk dalam pendidikan kaum Menak untuk perempuan. Bisa jadi hal ini yang
membuat Dewi Sartika segera merealisasikan rencananya membuat sekolah tersebut
meskipun dengan sarana yang seadanya.
Akhirnya
pada 16 Januari 1904 secara resmi didirikanlah Sakola Istri yang tempat
belajarnya dipindahkan dari rumah Dewi Sartika ke halaman depan rumah Bupati
Bandung, tepatnya dalam ruangan di Paseban Barat. (Kini tempat tersebut sudah
hancur dan menjadi bagian dari taman di Pendopo Alun-Alun Bandung). Saat awal
berdirinya, Sakola Istri memiliki 3 orang pengajar yakni Dewi Sartika, Nyi
Poerwa, & Nyi Oewit. Dengan jumlah murid pertama kali sekitar 60 orang.
Karena
jumlah murid yang terus bertambah, tahun 1905 dipindahkanlah Sakola Istri ke
jalan Ciguriang-Kebon Cau. Lahan ini dijadikan lahan sekolah baru dan dibeli
sendiri oleh Dewi Sartika dengan uang tabungannya. Pada 1910 tepatnya pada 5
November 1910 pukul 19.00 didirikanlah Perkumpulan Kautamaan Istri yang
dibentuk oleh Residen Priangan W.F.L Boissevain dikediamannya yang dikenal
sebagai Gedung Pakuan. Pada 1911 tepat pada nama Sakola Istri diganti menjadi
Sakola Kautamaan Istri karena banyaknya sumbangsih yang diberikan oleh
perkumpulan tersebut. Berkat dana yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Kautamaan
Istri ini, dibangunlah cabang-cabang Sakola Keutamaan Istri di Sumedang,
Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta. Pada peringatan 7 tahun
pendirian sekolah ini, Dewi Sartika berpidato yang kemudian dibukukan dan
diterbitkan di Bandung oleh A.C Nix & Co pada tahun 1912 dengan judul Buku
Kautamaan Istri.
Di
masa hidupnya, Dewi Sartika dua kali mendapat penghargaan dari Pemerintah
Hindia Belanda yakni pada tahun 1922 dan 1939. Pada tahun 1922 beliau dianugerahi
Bintang Perak oleh pemerintah Hindia Belanda, dan tahun 1939 diberi penghargaan
yang lebih tinggi lagi yakni Bintang Emas. Hal ini berarti membantah penyataan
yang mengatakan bahwa Raden Dewi Sartika dilingkungan orang-orang Belanda tidak
begitu dikenal. Fakta ini juga terbantahkan dengan data bahwa perhatian publik
atas keberadaan Sekola Kautamaan Istri cukup bagus karena di tahun 1913 Sakola
Kautamaan Istri sempat dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Kemudian
pada tahun 1916 Sakola Kautamaan Istri dikunjungi oleh Nyonya Limburg van
Stirum (istri dari Gubernur Jenderal yang baru).
C. Siti Roehana Kudus
Siti Roehana lahir
pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatra Barat. Roehana berasal dari
keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang,
yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad
Maharadja Soetan, bekerja sebagai seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan
yang termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah mendapat penghargaan
dari Kerajaan Belanda. Darah keluarga Rasjad memang tergaris profesi jaksa.
Datoek Dinagari, kakek buyut Roehana, adalah jaksa pertama di Bukitinggi
sekurun 1833-1836. Paman Roehana, adik Rasjad, juga seorang jaksa, begitu pula
saudara-saudara lelakinya yang lain. Roehana adalah anak pertama Rasjad dari
Kiam, istri pertama Rasjad. Dari Kiam, Rasjad memperoleh enam anak. Setelah
Kiam wafat, Rasjad menikah lagi hingga lima kali. Salah satu anak lelaki Rasjad
adalah Soetan Sjahrir. Dengan demikian, Sjahrir dan Roehana adalah saudara tiri
lain ibu. Adik Rasjad, paman Roehana dan Sjahrir, adalah kakek dari Agus Salim,
yang pada akhirnya nanti menjadi bapak bangsa Indonesia. Keluarga Roehana
memang seolah-olah ditakdirkan sebagai agen untuk perubahan.
Jika di Jawa tersebutlah nama Kartini sebagai
pendekar wanita yang paling kondang, kaum perempuan di Sumatra juga punya idola
yang tidak kalah harum namanya: Siti Roehana Koedoes. Dari ranah Melayu,
Roehana engiringi perjuangan yang dirintis Kartini. Sejarah telah menggurat
riwayat, Kartini melegenda berkat jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan,
demikian pula Roehana. Kedua srikandi Indonesia itu menempuh jalan pendidikan
demi mengentaskan perempuan dari pembodohan dan penindasan.
Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana
menemui jalan terjal karena desakan adat yang tak jarang menganggap rendah
dalam memposisikan perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana, baik
kecaman yang datang dari kalangan agamawan maupun pemuka masyarakat, terutama mereka
yang berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana meneguhkan hati.
Upaya Roehana demi mencerdaskan bangsa telah
dirintis sejak belia. Pada usia yang masih sangat muda, Roehana sudah menjadi
guru dengan menyediakan rumahnya sebagai sekolah dadakan bagi anak-anak
perempuan. Pelajaran yang diberikan meliputi membaca, menulis, bahasa,
budi-pekerti, agama, dan keterampilan menganyam. Roehana memacu semangat
murid-muridnya untuk maju dengan meyakinkan bahwa perempuan bisa juga menjadi
dokter atau guru. Roehana menganjurkan, dalam upaya mencari ilmu, perempuan
lebih baik merantau seperti yang lazim dilakukan kaum lelaki Minang. Bagi kaum
adat, gagasan ini jelas menyimpang. Tetapi nyali Roehana tak ciut. Baginya,
emansipasi harus terus diperjuangkan demi kemajuan kaum perempuan, khususnya
dalam pendidikan.
Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan Amai
Setia (KAS) di kota kelahirannya, Kotogadang, Sumatra Barat. KAS berkembang
pesat dan menghasilkan barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS adalah
sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas langsung oleh perempuan.
Roehana menjadi wanita Sumatra pertama yang dengan sadar memulai usaha
memajukan kaum perempuan.
Selain sebagai pendidik, Roehana juga disebut
sebagai Ibu Pers Indonesia berkat perannya sebagai pelopor penerbitan koran
perempuan pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil peranan langsung
dalam teknis penerbitannya. Rohana merupakan cikal bakal lahirnya
wartawan-wartawan profesional di Sumatra Barat. Roehana tak hanya sekadar
berperan sebagai “pemanis” dalam koran-koran yang dikelolanya. Lebih dari itu,
dia memainkan lakon sentral sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran
perempuan yang terbit di Padang sejak 10 Juli 1912, juga koran-koran bergenre
emanisipasi wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin redaksi, Roehana
tak segan turun langsung ke bawah untuk meliput berita.
Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan
perhimpunan perempuan di Sumatra. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi
perempuan di tanah Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya dan
menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS)
sebagai wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi dibentuk
di Padang pada 1911. Roehana mendirikan persatuan organisasi perempuan ini jauh
sebelum Kongres Perempuan Indonesia digagas, yang kelak baru terlaksana pada
22-25 Desember 1928.
D.
Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah lahir di Padang Panjang, 29 Desember 1900,
ia merupakan bungsu dari lima bersaudara.Rahmah dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang kuat adat dan agama.
Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-Yunusiyah,
mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang
akan mengendalikanjalurkehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, untuk
meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan
khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini
perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bldang
intelektual, kepribadian ataupun keterampilan.
Terlebih, saat itu masih banyak perempuan di
daerahnya yang belum mendapatkan pendidikan seperti yang ia rasakan. Atas dasar
inilah, ia mendirikan sekolah khusus perempuan dengan model pesantren, Diniyah
Putri. Tidak lupa, ia memasukkan pendidikan keperempuanan dalam kurikulum
sekolahnya agar perempuan tidak melupakan hak dan kewajibannya.
Dengan berdirinya Diniyah Putri pada 1923, sang
pendiri, Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan
sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga
yang produktif. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau, dan meletakkan
tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia.
Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di
Indonesia.Murid-murid pertamanya saat itu berjumlah 71 orang yang mayoritas
terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda, dengan pelajaran diberikan setiap hari
selama 3 jam di sebuah Masjid Pasar Usang, Padang Panjang, dengan sistem
halaqah.Dalam perkembangannya, sekolah ini menjadi pesantren dan hanya menerima
murid perempuan yang belum menikah.
Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan kedudukan
kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan
prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam
masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan
oleh kaum perempuan sendiri." Melalui lembaga seperti itu, ia berharap
bahwa perempuan bisa maju.
Cita-cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang
pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman
dan capaian pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap
pendidikan dasardi Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah
sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di
Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa
ulama modemis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu,
Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari
soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang
dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah
Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan
atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan
hanya tersedla bagi segelintir orang
Untuk
menarik minat masyarakat, baik kaum intelektual maupun kaum adat (golongan yang
sangat kuat memegang faham kuno: bahwa perempuan tidak perlu bersekolah), dan
khususnya kaum ibu, maka sekolah inl menggunakan tiga macam perkataan yang
menjadi satu yaitu: Dinijah School Poeteri, dengan nama yang spesiflk tersebut
masyarakat menjadi tertarik dan pada masa penjajahan jepang dipopulerkan dengan
nama "Sekolah Diniyah Puteri", sedang pada masa sekarang dikenal
dengan "Perguruan Diniyah Putri " Padang Panjang.
Tidak
hanya Diniyyah Puteri, Rahmah juga mendirikan lembaga pendidikan Menyesal
School untuk kaum Ibu yang belum bisa baca-tulis, kemudian
Freubel
School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS), Diniyah
School Puteri 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun), dan
Tsanawiyah (3 tahun).
Rahmah
ingin perempuan bisa menjadi sosok intelektual yang tetap pada fitrahnya dan
anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, karenanya ia
tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan
rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya. Karena menurut Rahmah,
masyarakat bisa baik bila rumah tangga dari masyarakat tersebut juga baik,
karena rumah tangga adalah tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara,
sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam. Ia menginginkan setiap wanita
menjadi ibu yang baik dalam rumah tangganya, masyarakat dan sekolah. Menurut
Rahmah hal ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan.
2.4 Latar Belakang Lahirnya Nasionalisme di
Indonesia
Membicarakan
mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keadaan
rakyat sendiri yang sangat memprihatinkan pada masa tanam paksa. Rakyat
Indonesia sangat terbelakang waktu itu, mereka hanya dipekerjakan untuk kepentingan kolonial. Pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan tidak menjadi perhatian utama pemerintah kolonial Belanda.
Situasi tersebut tetap berlangsung sampai Van Deventer dalam majalah De Gids
menulis keprihatinanya terhadap rakyat Indonesia karena loyalitas mereka
terhadap pemerintaha kolonial tidak mendapatkan balasan yang semestinya.
Sesungguhnya
semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan telah ada dalam jiwa-jiwa
rakyat Indonesia. Sayangnya pada masa itu belum ada wadah dan penggeraknya yang
terorganisir. Baru setelah memasuki abad ke 20, politik etis berimplikasi
positif bagi bangsa Indonesia. out put dari pendidikan yang menjadi salah satu
program dari politik etis sendiri menghasilkan para cendekiawan yang peduli
akan nasib bangsanya. Mereka mendirikan berbagai organisasi pergerakan, seperti
Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan gerakan emansipasi wanita.
Ada
tiga pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada
masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme dan nasionalisme
Indonsia. Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam memegang peranan
penting dalam pembentukan nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut
seorang pengamat nasionalisme George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja
merupakan matarantai yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan
simbol persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal
dari agama lain. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di
Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan
oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam
dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah
menjadi organisasi politik pemula yang menjalankan program politik nasional
dengan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.
2.5 Faktor Internal dan Eksternal yang
Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme di Indonesia
2.5.1
Faktor Internal
1.
Provinsialisme, Kedaerahan, Primodialisme
Ketiga kata tersebut sebenarnya mempunyai arti atau
definisi yang kurang lebih sama. Ketiganya sama-sama mempunyai arti paham yang
menjunjung tinggi daerahnyaatau bersifat kedaerahan, provinsialisme paham yang
menjunjung tinggi provinsisendiri, primodialisme paham yang menjujung tinggi
daerah asalnya atau daerahkelahirannya.
Sebenarnya menjujunjung tinggi daerahnya bukanlah hal
yang salah, karena setiaporang tidak akan mungkin terlepas dari daerah asalnya,
orang jawa bangga dengankejawaannya, batak bangga dengan kebatakannya.Tapi yang
mejadi masalah adalah primodialisme fanatic atau berlebihan. Terlalu mengagung-agungkan daerahnya hingga merendahkan daerah
atau suku lain.Primodialisme yang seperti inilah yang bisa memecahkan persatuan
nasionalisme bangsa kita. Apabila setiap suku atau daerah di Indonesia menganut
paham primodialisme yang berlebihan bisa dibayangkan nasionalisme Indonesia
akan kacau.
2.
Separatisme
Separatisme secara umum adalah suatu gerakan untuk
memisahkan suatu wilayah ataukelompok manusia dari satu sama lain. Di Indonesia
sendiri kita ketahui cukup banyak gerakan separatisme yang bermunculan dari
jaman dahulu atau masa pascakemerdekaan sampai saat ini ada GAM, RMS, dll yang
mecoba untuk memisahkandiri dari Negara kesatuan republik Indonesia . Darai
beberapa gerakan separatism yang ada ada yang sudah bisa diselesaikan dan ada
juga yang belum.
Dari pengalaman yang sudah ada ini bisa dilihat bahwa
gerakan separatisme sudah ada sebelumnya menyebabkan nasionalisme kita menjadi
rusak, karena gerakan tersebut mencoba untuk memisahkan diri dari RI.
2.5.2
Faktor Eksternal
·
Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial
dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan
faktor-faktor yang terjadi akibat trans kulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah
globalisasi dapat diterapkandalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan
sebagainya.
Memahami globalisasi adalah suatu kebutuhan,mengingat
majemuknya fenomena tersebut.Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh
bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua
sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.Pengaruh globalisasi di
berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi,ideologi, sosial
budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap
bangsa.
Ø
Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme:
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan
dijalankan secara terbuka dan demokratis.Karena pemerintahan adalah bagian dari
suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis
tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat.Tanggapan positif tersebut
berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar
internasional, meningkatkan kesempatankerja dan meningkatkan devisa negara.
Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkankehidupan ekonomi bangsa yang
menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola
berpikir yang baik seperti etos kerjayang tinggi dan disiplin dan Iptek dari
bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkankemajuan bangsa yang pada
akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasanasionalisme kita terhadap
bangsa.
Ø
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme:
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia
bahwa liberalism dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup
kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika
hal tesebut terjadiakibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta
terhadap produk dalamnegeri karena banyaknya produk luar negeri yang membawa
brand bergaya barat yang membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta
terhadap produk dalamnegeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme
masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa
akan identitas dirisebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru
budaya barat yangoleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam
antara yang kaya danmiskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi
ekonomi. Hal tersebut dapatmenimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin
yang dapat mengganggukehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan
ketidakpedulianantarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka
orang tidak akan pedulidengan kehidupan bangsa.
Pengaruh-pengaruh
di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan
tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa
menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala
masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi
aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi
maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia.
Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis
sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Emansipasi wanita adalah suatu persamaan hak
yang diberikan kepada kaum wanita tanpa diskriminasi gender. Hak ini harus
diberikan secara adil dan proposional. Seorang wanita harus mendapatkan
kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dan kaum laki-laki menghormati
serta memperlakukan wanita sebagaimana mestinya, tidak meremehkan, tidak
mengeksploitasi, apalagi menyiksa. Wanita merupakan makhluk yang sangat penting
bagi laki-laki, pelengkap bagi kaum laki-laki.
Sebelum dikenal
adanya emansipasi wanita, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat
yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi. Perempuan
diposisikan sebagai kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya
beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa
ruang lingkup perempuan ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi
gender di era pra emansipasi. Perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan
memperoleh pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk dalam sebuah
budaya yang sangat patriark
Tokoh-tokoh Pengerak Emansipasi
Wanita antara lain : R. A. Kartini, Raden Dewi Sartika, Siti Roehana
Kudus, Rahmah El-Yunusiyah .
Membicarakan
mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keadaan
rakyat sendiri yang sangat memprihatinkan pada masa tanam paksa. Rakyat
Indonesia sangat terbelakang waktu itu, mereka hanya dipekerjakan untuk kepentingan kolonial. Pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan tidak menjadi perhatian utama pemerintah kolonial Belanda.
Sesungguhnya
semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan telah ada dalam jiwa-jiwa
rakyat Indonesia. Sayangnya pada masa itu belum ada wadah dan penggeraknya yang
terorganisir. Baru setelah memasuki abad ke 20, politik etis berimplikasi
positif bagi bangsa Indonesia. out put dari pendidikan yang menjadi salah satu
program dari politik etis sendiri menghasilkan para cendekiawan yang peduli
akan nasib bangsanya. Mereka mendirikan berbagai organisasi pergerakan, seperti
Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan gerakan emansipasi wanita.
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme
di Indonesia, meliputi Faktor Internal (1. Provinsialisme,
Kedaerahan, Primodialisme, 2.Separatisme). factor ekternal meliputi
adanya globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
TAMBAHAN
1. Chafi Insanuar (130210302024)
·
Peranan perempuan dalam pergerakan nasional ialah
mereka tidak hanya menginginkan kemajuan dan menghilangkan segala diskriminasi
akan tetapi mereka ikut serta bertanggung jawab terhadap nasib bangsa.
·
Adapun dana beberapa kongres yang kaum perempuan bentuk
dan ikuti ialah:
1)
Kongres perempuan Indonesia 22-25 Desember
2)
Kongres perserikatan perkumpulan perempuan
indonesia, Jakarta 28-31 Desember 1929
3)
Kongres perikatan perkumpulan istri Indonesia,
Surabaya 13-18 Desember 1930
4)
Kongres perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli
1935
5)
Kongres perempuan Indonesia, Bandung Juli 1938
6)
Kongres perempuan Indonesia, Semarang Juli 1941.
2. Lintang Adelia F (130210302061)
·
Buah pikiran Kartini yang tertulis pada bukunya
Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi penggerak munculnya sekolah-sekolah putri
yang didirikan oleh emansipasi wanita terus dibicarakan pada tahun 1912 didirikan sekolah Kartini di Semarang
atas dorongan Van Deventer dengan adanya pendidikan untuk wanita maka pemikiran
wanita menjadi lebih luas dan emansipasi wanita berperan dengan membentuk organisasi
untuk ikut berjuang melawan penjajah.
3. Siti Jumratul Aini (130210302080)
·
Dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia tidak
terlepas dari gerakan nasional setiap partai atau organisasi nasional berusaha
membangun sayap perempuan sendiri sesuai dengan emansipasi wanita adalah
memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Yang dinilai lebih rendah dari pada
laki-laki. Sayap perempuan sendiri baik organisasi yang berhaluan nasionalis.
Sepanjang yang kita ketahui tanda-tanda pertama adanya perhatian sistematis
kaum perempuan yang kebanyakan kelas menengah pada kesulitan yang dihadapi oleh
kaum perempuan terdapat dalam kalangan perempuan yang aktif dalam sarekat
rakyat.
4. Novita Ayu Karisma (130210302035)
·
Nyai Ahmad Dahlan memilih untuk mengajak masyarakat
dengan karya yang nyata. Beliau mendirikan sekolah-sekolah putri, kursus ilmu
agama, serta terus menjalankan program pemberantasan buta huruf bagi kaum
perempuan. Selama itu didirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan
serta menerbitkan majalah untuk kaum wanita.
5. Aydha Vadillah Kurniawati (130210302085)
·
Peranan perempuan untuk memajukan bangsa harus
ditingkatkan yang dinyatakan dalam kongres perempuan tahun 1935, bahwa
pergerakan perempuan tidak hanya menginginkan kemajuan perempuan dan
menghilangkan segala diskriminasi, akan tetapi harus ikut serta bertanggung
jawab terhadap nasib bangsa. Ini merupakan suatu konsep yang menunjukkan kepada
cita-cita yang sangat tinggi yang telah dicetuskan oleh pemimpin perempuan masa
itu. Dengan adanya sifat kebangsaan yang dimiliki oleh himpunan perempuan, maka
hubungan antara pergerakan perempuan indonesia dengan pergerakan nasional
menjadi semakin erat.
6. Agi Rosmaeni (130210302084)
·
Pada tahun 1938 kongres perempuan Indonesia
menyerukan semboyan baru yaitu “Pergerakan perempuan indonesia sebagian dari
pergerakan kebangsaan indonesia”. Gerakan yang dilakukan masa itu tidak hanya
menghubungkan hak perempuan dengan nasionalisme, tetapi juga menggunakan
pendapat nasionalisme untuk menuntut hak perempuan dan kesetaraan. Timbulnya
pergerakan perempuan indonesia dilihat dari perkembangan sejarahnya, gerakan
yang menjadi bermotifkan semangat untuk memajukan bangsa, dan ini menentukan
arah bagi perkembangan selanjutnya. Bahkan dalam pengertian gerakan perempuan
indonesia di dalamnya terdapat organisasi perempuan yang berhaluan nasional.
7. Sulaihah (130210302015)
·
Cita-cita emansipasi perempuan dan kedudukan
perempuan di anggap sebagai unsur penting dalam pembangunan nasional. Cara yang
mereka lakukan selain melalui perjuangan dalam segala bidang untuk mendapatkan
kesetaraan hak, juga melalui penerbitan buku-buku yang mendorong lahirnya rasa
nasionalisme, selain itu juga melalui penerbitan majalah, surat kabar dan
brosur-brosur misalnya: Putri Hindia (Bandung), Sunting Melayu (Bukit Tinggi),
Putri Mahardika (Jakarta) dan lain-lain. Dari usaha-usaha para tokoh tersebut
nantinya akan mempengaruhi atau memunculkan rasa nasionalisme terhadap rakyat
indonesia.
8. Putri Ulfa P (130210302046)
·
Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi
wanita indonesia mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda. Kesimpulan
ini dapat ditarik dari korespondensi kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di
negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua
ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan
sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan
nasional. Ditengarai juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai budaya
untuk menjamah struktur nilai dan budaya indonesia agar dapat tunduk dan
simpati kepada kolonial Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar